Jumat, 10 Mei 2013

Konsep Syekh Abu Hasan Al-Asy’ari (Ujian dan Cobaan Menuntut Kesabaran)



Berbeda dengan kalangan Mu’tazilah yang menyatakan bahwa semua perbuatan hamba itu dikembalikan kepada Allah. Artinya, seorang hamba itu tidak pernah sunyi memperoleh kenikmatan, dan niscaya untuk disyukuri, atau mungkin ditimpa bala dan musibah, dan mengharuskan ia berlaku sabar.
Al-Asya’ari juga sepakat bahwa cobaan dan ujian itu menuntut sikap sabar seorang hamba. Seperti sakit, dan kehilangan anak (karena kematian), namun yang lain tidak perlu disikapi dengan sabar seperti “kufur dan maksiat atau perbuatan mungkar dan dosa (Lihat dalam al-Lum’ : 45).
Adalah benar bila Allah juga menentukan kadar kemaksiatan. Akan tetapi tidak bermaksud untuk memerintah melakukannya. Di sini kelihatan, al-Asy’ari merupakan pengaruh dan dampak qadla itu bagi hurriyat al-Irodla, meskipun berusaha melepaskan hal itu dari konsep teologi Kasbnya. Dalam kaitanya dengan Qadla’ (ketentuan final Allah) harus disikapi dengan ridla dan legowo, dan itu adalah keharusan, meskipun amat sulit dilakukan, dan ketika bersikap lega dengan kekufuran karena merupakan ketentuan Allah, al-Asy’ari tidak ingin terjebak dalam pesyikapan hal tersebut. Karena, memang sulit untuk diungkap. Sebab harus dibedakan, semuanya atas kehendak Allah, akan tetapi segala bentuk kemaksiatan, kemungkaran dan dosa –selain merusak tata nilai kehidupan—bukan untuk dilakukan, karena sudah jelas ukuran baik dan buruk bagi nalar pikir manusia.
Untuk memasuki substansi konsep al-Kasb al-Asyari, sengaja perdebatan yang melelahkan sebagai pengantar diskursusnya dirasa cukup. Bagi al-Asy’ari, Allah SWT menciptakan seluruh perbuatan manusia, lalu muncul pertanyaan “lalu kenapa masih ada perbuatan hamba”, maka teologi al-Asy’ari menjawabnya “bahwa seorang hamba itu mempunyai wilayah untuk berbuat (kasb) dan ikkhtiar.
Dan Kasb seorang hamba itu mesti dikaitkan dengan kemampuan hamba termasuk iradhah (kemauan hamba) untuk melakukan sesuatu, dan perbuatan itu merupakan ciptaan Allah, sebab kemampuan manusia tidak akan mempengaruhi kekuasaan Allah dalam mengatur tatatan malhkuk-Nya sesuai dengan takaran yang ditentukannya. Disinilah letak entitas makhluk yang kesemunya diciptakan oleh Allah.
Bila dikaitkan dengan sikap hidup ber-Aswaja, sebenarnya mengikuti konsep teologi Asy’ariyah adalah nyaman dan terselamatkan. Sebab, Allah memberlakukan semua sunnah-Nya (tata aturan dan kejadian) dengan disertai oleh-Nya menciptakan kemampuan yang baru (kemampuan dan kekuasaan yang diberikan kepada manusia yang tentu terbatas oleh ruang dan waktu) beserta perbuatan yang diinginkan oleh hamba dan yang hendak dituju.(lihat dalam al-Sahrastani; 124).
Menurut al-Asy’ari, semua hamba itu kelak akan diganjar (diberi pahala dan balasan) sesuai dengan usaha (kasb) dan ikhtiarnya. Di sinilah letak konsep teologi Kasb al-Asy’ari. Pemikirannya tentang Kasb tetap memberikan peluang besar bagi hurriyat al-Iradhah kepada hamba, tetapi juga disertai dengan tanggung jawab dikemudian hari.
Bila dimaknai ulang dengan teologi pencerahan manusia, maka akan muncul pemikiran: Allah banyak memberikan alternatif pilihan bagi seorang hamba, karena diberi hidayah berupa inderawi, dan akal (meski terbatas). Kemudian diberi yang lain berupa hidayah agama (dien) dan juga hidayah taufik dan ma’unah (agar tercerahkan dan tidak salah pilih).
Karena itu, hidup ini adalah tantangan (challenging) dan mencari keseimbangan (balancing). Maka, ketika salah pilih, tentu resikonya akan ditanggung sendiri. Dan karenanya menusia masih membutuhkan Tuhan (Allah) dalam segala diam dan geraknya. Diskursus ini akan berlanjut dengan melihat sikap dan posisi al-Baqilani dan Imam al-Haramian sebagai penerus ajaran al-Asy’ariyah. Semoga menjadi renungan yang menghibur. Amin! []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar